“LAMUNAN
ANAK MAMA”
Oleh:
Lorensius Alfian
Malam Minggu yang kelam.
Hujan turun sejak pukul enam sore tadi. Derasnya tidak berkurang dan menimbulkan suara berisik
di atap rumah. Angin malam yang masuk melalui kisi-kisi jendela menusuk tulang
punggungku. Beberapa kali ketukan ujung ranting pohon di kaca jendela
memberikan irama sela di tengah derasnya hujan. Lima belas menit jelang tengah
malam. Sepertinya aku akan menjadi makhluk malam lagi,seperti dua tiga malam
sebelumnya. Monitor komputer berkedap-kedip dengan cepat. Cerpen yang banyak
belum selesai ku ketik dan ku upload,padahal buku-buku referensi sudah siap
dibuka. Tinggal
mencari halaman sekian agar isinya bisa aku salin. Namun kesepuluh jari
tanganku hanya mengambang di atas keyboard komputer.
Aku duduk diam.Satu
menit, dua menit… dua setengah menit berlalu tanpa sedikit pun memindahkan
kursor komputer. Kelap-kelip sinar monitor yang memenuhi ruang mataku
seakan-akan mengurungku supaya tetap tidak bergerak. Aku buntu. Miskin ide.
Tiba-tiba aku ingat dia. Hei, kenapa mesti dia? Bukankah aku sekarang sudah punya pacar, bahkan sudah siap menjadi calon istri?. Seharusnya yang sekarang-lah yang aku ingat, bukan yang tertinggal dulu. Sedang apa kamu di sana? Di sana, entah di mana. Tentu saja aku tidak tahu karena kamu menghilang sejak dua tahun lalu. Tanpa alamat, tanpa berita. Surat-surat yang sengaja aku tulis tak pernah dikirim untukmu. Menumpuk begitu saja di dalam kotak harta (begitu kita pernah menyebutnya) bersama foto-foto kita yang sudah mulai menguning. Semua karena aku masih ingin mengenangmu. Jangan salahkan aku. Tolong, jangan larang aku. Yang sesungguhnya aku rasakan tidak pernah kamu tahu. Apalagi mengharapkan kamu untuk lebih mengerti. Karena kamu begitu jauh. Ataukah karena sebenarnya kamu terlalu dekat di hatiku?
Tiba-tiba aku ingat dia. Hei, kenapa mesti dia? Bukankah aku sekarang sudah punya pacar, bahkan sudah siap menjadi calon istri?. Seharusnya yang sekarang-lah yang aku ingat, bukan yang tertinggal dulu. Sedang apa kamu di sana? Di sana, entah di mana. Tentu saja aku tidak tahu karena kamu menghilang sejak dua tahun lalu. Tanpa alamat, tanpa berita. Surat-surat yang sengaja aku tulis tak pernah dikirim untukmu. Menumpuk begitu saja di dalam kotak harta (begitu kita pernah menyebutnya) bersama foto-foto kita yang sudah mulai menguning. Semua karena aku masih ingin mengenangmu. Jangan salahkan aku. Tolong, jangan larang aku. Yang sesungguhnya aku rasakan tidak pernah kamu tahu. Apalagi mengharapkan kamu untuk lebih mengerti. Karena kamu begitu jauh. Ataukah karena sebenarnya kamu terlalu dekat di hatiku?
Whoooahmm…Aku menguap sekali. Angin menerobos
ventilasi, membelai leherku. Dingin. Agaknya hujan mulai reda. Tidak terdengar
suara berisik lagi. Mouse kugeser ke kiri, ke kanan, lalu melingkar-lingkar.
Sekali lagi aku menguap. Aku kembali mengetik. Entahlah, apa benar yang sudah
aku ketik. Peduli amat .Pluk.Seekor cicak jatuh di atas printer. Aku kaget.
Ternyata mataku nyaris tertutup. Sampai mana ketikanku tadi?Ahh, kenapa malam
memaksa aku berpikir bukannya menuntun ku untuk tidur?
Lagu. Bodoh, kenapa tidak memutar lagu saja?
Barangkali mampu meredam kantukku. Banyak kaset di laci lemariku. Pop
Indonesia, Barat, Latin -nyaris ada semua- kecuali dangdut. Kaset-kaset itu aku
koleksi sejak SD. Bahkan ada beberapa yang sudah jamuran namun tetap aku
simpan. “Bryan Adam”. Terlalu lembut. “Metallica”. Yah, lumayan menghentak. “SuJu”?
Eh, kaset siapa yang nyasar di sini? Bukan milikku, barangkali salah seorang
teman adikku meninggalkannya di sini. Atau Ebiet G. Ade? Enggak ah, nanti
tambah ngantuk. Oh, gimana kalau Bon Jovi? Tidak apa bukan? Mendengarkan slow
rock tidak akan menganggu penghuni kamar sebelah yang mungkin sudah hanyut
dalam sungai mimpi.
“This romeo is bleeding, but you can’t see his blood… It’s nothing but
some feelings, that this old dog kicked up… It’s been raining since you left
me, now I’m drawning in the flood… You see I’ve always been a fighter, but
without you I give up…”
Aduh, kenapa Always
yang pertama keluar? Hanya
akan mengingatkan aku tentang dia. “Bukankah ini lagu yang kamu nyanyikan saat
malam perpisahan? Yang khusus kamu persembahkan untukku, membuat aku
tersanjung.Kamu masih suka memainkan piano itu, yang kau sebut pacar kedua
-setelah aku- itu? Tentu saja, musik adalah duniamu. Menurutku hobimu yang lain
(pasti kamu enggak sadar) adalah menaklukkan hati para pria. Dengan senyum
tanpa dosa tidak akan ada yang menolak mantra-mu. Termasuk aku.Salahkah bila
aku sering membayangkan wajahmu. Dosakah? Cuma membayangkan saja, bukan suatu
pengkhianatan, kan? Sungguh, sebesar apa pun keinginanku untuk menghapus
ingatan tentangmu, sebesar itu pula ketidakmampuanku untuk melakukannya. Sungguh,
aku masih sangat mencintaimu.
Memang benar kata orang, cinta pertama itu tidak akan
pernah mati. Yang paling berkesan. Paling manis. Sekaligus juga pahit. Seperti
itulah yang pertama, bukan?Mungkin jalan satu-satunya adalah aku ikut program
cuci otak. Saat tidak ada kerjaan,lebih senang mengingatmu. Saat bertengkar
dengan pacarku,lebih nyaman bersama bayanganmu.
Menggambar jengkal demi jengkal bagian tubuhmu, dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Menuangkannya ke dalam kanvas hatiku. Rambutmu
yang panjang anggun,sepasang mata sipit di bawah naungan alis hitam,serta bibir
tipis yang selalu basah dan mengurai senyum meneduhkan. Aku hapal wajahmu.
Setiap gurat di sana bisa aku ingat, berharap wajah yang aku lukis selalu
tersenyum dan menyapaku di ujung malam. Tapi, apakah waktu dua tahun merubah
semuanya?Aku rindu kamu. Rindu sapaan ‘selamat pagi’ yang selalu kau berikan di
depan pintu kelas. Rindu bisikan lembutmu saat membujuk hatiku. Juga sifat
konyolmu yang tidak pernah habis. Aku rindu semua tentang kamu. Benar-benar. Bed
of Roses terdengar. Sejak kapan lagu demi lagu berganti? Rupanya aku keasyikan
melamun. Keasyikan melukis kamu. Ah, peduli amat.
Tengah malam. Aku benar-benar menjadi makhluk malam. Sudah
empat kali dalam seminggu ini. Banyak tugas baca, makalah, dan presentasi,juga
cerpen pengisi blog-ku yang menguras isi kepala dan energiku. Aku sering
tertidur pukul satu dinihari kemudian terjaga sejam berikutnya. Tidak mimpi.
Tidak ada yang membangunkan. Ya, otomatis saja. Sudahlah,pergilah semua
bayangan tidak diundang dari kepalaku. Aku harus menyelesaikan tugas. Besok
harus sudah presentasi di hadapan guru dan teman-teman sekelas. Harus bagus,
atau aku tidak boleh ikut ulangan semester. Tiga buku setebal lima senti
menenggelamkan kepalaku. Ini semuanya akan aku baca? Berbahasa Inggris pula. Di
antara tiga buku hanya satu yang berbahasa Indonesia. Gila, memangnya aku kamus
berjalan? Kalau kamu, mungkin iya. Di SMP dan SMU, semua guru bahasa Inggris
memuji kepintaranmu. Kosakata yang kamu kuasai jauh melebihi kemampuanku.
”Dengan cara menghapal
sepuluh kata setiap hari, tinggal dikalikan, maka kamu tidak akan percaya
hasilnya”
Seperti itulah yang kau bekalkan untukku. Kamu memang
pintar. Salah satu kelebihanmu yang sukses menjerat hatiku. Lagi-lagi aku
memikirkannya. Ada apa ini? Lupakan. Berusahalah ingat yang lain. Ingatlah
seseorang yang nun jauh di sana, yang sedang belajar dan meraih kebahagiaan
kami. Nggak bisa. Hhh, aku memang nggak mau.Aku bosan memikirkan yang sekarang.
Terlalu sering. Senyum untuk dia, waktu, bahkan sampai air mata. Aku mau
penyegaran. Suasana lain,bersama yang lain. Lagipula aku tidak bersama wujud
nyata, hanya lamunan. Kan, tidak salah? Becanda dengan bayangan, tidak akan ada
yang tahu, kan? Kecuali Dia tentunya.
Kepalaku ini sulit dikontrol rupanya. Sekali dibiarkan
bebas maka akan berkelana sebebas-bebasnya. Tidak perlu mengerti kesusahan
pemiliknya. Aku sedang sibuk. Aku sedang menguras isi otakku. Mencari-cari kalimat
yang pas untuk cerpenku. Tombol-tombol keyboard mulai aku tekan dengan
kecepatan luar biasa. Isi otakku mengalir deras dan tidak mau aku stop, karena
sekali aku stop maka selamanya akan hilang. Mumpung masih segar dan mumpung
pikiranku sedang konsen ke satu hal saja,kerjakan sekarang juga. Pengertian
Sampah… Pembagian Sampah… Sumber Sampah…Apa ini? Bahasa Inggris lagi. Mana
kamusku? Di mana aku letakkan tadi? Aduh, aku begini ceroboh dan tergesa-gesa.
Selalu ada yang berantakan dan tertinggal. Tidak pernah teratur dan rapi. Ah, bodo
amat. Aku tidak perlu berdiskusi tentang ini. Cepat, tinggal dua paragraf lagi.
Setelah itu masuk ke cara pembuangan sampah. Gampang, sudah ada konsep. Tinggal
aku ketik dengan penambahan di sana sini sebagai pemanis. Ketua kelompok
sungguh baik, bersedia menulis serapi ini. Mungkin dia sudah tahu kalau aku
bakal kelelahan.
Krriiiinnngg!Siapa lagi malam-malam begini?
Krriiinngg! Pantatku terangkat. Tanganku terulur siap meraih knop pintu.
Sialan, tak ada suara lagi. Siapa pula yang usil. Sukanya mengganggu ketenangan
orang. Aku duduk kembali. Lho, sepi? Ternyata kaset Bon Jovi side A sudah habis
sejak lima menit yang lalu. Aku segera membaliknya.
“I
wake up in the morning, and I raise my weary head… I’ve got an old coat for a
pillow, and the earth was last night bed… I don’t know where I’m going only God
knows where I’ve been… I’m a devil on the run, a six gun lover a candle in the
wind, yeah…”
Setiap bait lagu itu memberikan stimulus agar
aku bekerja kembali. Jemariku terpaku di atas keyboard. Sial, ke mana semua
kalimat yang sudah aku susun tadi? Pasti gara-gara dering telepon kurang ajar
itu! Kalau saja dia ada di sini pasti aku dibantu. Tangannya ringan dalam membantuku.
Tidak pernah mengeluh,tidak pernah bertanya kenapa,atau pun memberikan nasihat
panjang. “Lain kali lebih teliti” hanya itu katanya. Tidak lebih. Cinta
pertama. Tidak akan pernah habis untuk diceritakan. Seperti sebuah drama korea
yang sekarang sedang booming di kalangan remaja. Apa itu judulnya? Boys Before
Flowers ? Setiap jam kosong,di setiap sudut kelas mereka membicarakannya.
Setiap tangan memegang gambar atau fotonya. Bla, bla, bla….Lho, malah
ngelantur? Yah, cinta pertamaku memang tidak akan habis atau memudarar. Kalau
dijadikan bahan novel, bisa setebal 200 halaman bolak-balik. Belum ditambah
cover eksklusif dan halaman persembahan.Wallah,otakku kacau lagi. Mungkin aku
memang harus masuk program cuci otak.
Lalu kenapa putus?Pertanyaan
simpel tapi jawabannya serumit benang wol yang dijadikan mainan si
Onyek,kucingku. Bukan mauku untuk putus. Bukan rencanaku untuk meninggalkannya.
Semua bukan bermula dari aku. Andai masih bisa memilih, ku akan memilihnya. Bermula
dari seseorang yang aku sebut ‘ibu’ dalam keluarga. Yang sudah mempertaruhkan
nyawa agar aku melihat dunia,bangun di tengah malam karena aku menangis minta
susu,dan mengajari ucapan ‘papa, mama’ sampai lidah rasanya kelu. Ibu. Makhluk
ciptaan Tuhan yang paling mulia. Semua orang tua mengharapkan yang terbaik
untuk anaknya. Begitulah kata nenek,tiga hari sebelum beliau berpulang. Apalagi
untuk anak tertua yang diserahi tanggung jawab total membawa nama baik
keluarga,seperti aku. Harus
begini, harus begitu. Jangan bergaul dengan ini, jangan dengan itu. Aku boleh
memilih tapi tetap menyesuaikan dengan keinginan ibu. Sama saja bohong, kan?
Ibu mengharapkan yang terbaik untukku, tapi ‘terbaik’ menurut beliau.
Dia pintar. Dia siswa teladan. Dia luar biasa baik
hati. Bak tuan Puteri negeri antah berantah. Tidak pernah ku dengar kasus dari
perbuatannya. Bukan pecandu narkoba,seperti yang sekarang merebak di kalangan pelajar.
Dia bersih jiwa-raga. Lalu apanya yang salah? Keluarganya. Menurut penilaian
orang-orang di sekitar ku,ayahnya bukan contoh yang baik. Seorang laki-laki
yang telah menanamkan benih ke wanita yang bukan istri sahnya. Ialah ibunya.
Tapi dia bukan anak haram. Dia cuma anak yang kurang diinginkan. Napasku
tersendat, sudut mataku terasa hangat. Sungguh cengeng. Bukan terharu pada
keluarganya yang broken home, namun sedih akan kenyataan yang aku anggap tidak
adil. Perpisahan yang tidak aku mau,begitu jauh, begitu lama…Aku tidak yakin
dia ingat bentuk wajahku. Ingat lekuk tubuhku saat melintas di dekatnya. Ingat
suara serakku saat aku menyapa. Atau bagaimana cara aku berpakaian yang selalu
diprotesnya.
Waktu sudah habis demikian banyak,memberi kesempatan
untuk suatu perubahan. Dan setiap manusia pasti akan mengalami perubahan,
bukan?Sudahlah. Berhenti memikirkan hal-hal yang sentimentil. Berhenti sok romantis. Sok puitis. Hanya akan membuka
luka lama. Membuatnya
menganga dan berdarah lagi. Bukan ini yang aku harapkan. Tidak. Aku juga ingin
lepas dari belenggu masa lalu. Lepas dari ikatan benang merah yang pernah ia
ikatkan di kelingking kiriku. Melepaskan bola-bola cinta yang
merantaiku ini. Tolong, bantu aku. Jangan hanya kau pandangi aku dari kejauhan.
Jangan hanya bergerak sebagai bayangan membisu. Genggamlah tanganku untuk
terakhir kali. Bisikkan suara lembutmu untuk terakhir kali. Untuk mengucap kata
‘selamat tinggal’ untukku.
Monitor komputer tetap
berkedap-kedip. Pendar
sinarnya tetap menembus masuk ke dalam mataku,menambah panas. Bon Jovi tetap
menyanyi. Dan aku tetap duduk, mencoba menyelesaikan tugasku hingga akhir. Biarlah
seperti ini. End
Karya : Lorensius Alfian Syarai
e-mail : laurance_818@yahoo.com
Twitter : https://www.twitter.com/bilaalfian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar